“Woy cuk! Nih ada martabak tipis.”
“Woo jancuk thankyou, Tam! Pas banget ujan-ujan gini lo bawa ginian. Gua bikin kopi dulu ya”.
Memang tiap weekend aku selalu menyempatkan main ke tempat si Adi. Paryadi Sumarmo ini, Walaupun dia orangnya galau galau melankolis, tapi dia satu-satunya orang yang aku yakin jika aku butuh bantuan, dia akan membantuku.
Dia orang yang mau jemput gue di stasiun tanpa babibu jam 2 malem dengan sedikit gerimis pas motorku yang kuparkir di stasiun kuncinya ketinggalan di Jakarta, padahal dia ndak hafal jalan ke Stasiun.
Dulu juga pernah waktu kami masih kuliah, aku pinjam uang ke dia. Dia orangnya selalu bilang kalau dia unlimited money, makanya aku pinjam. Setelah itu, dia selalu menolak kalau aku ajak pergi makan. Katanya udah makan. Aku baru tahu kalau ternyata dia di kosan makan mie instant terus. Waktu kutanya,
“Heh lu makan mie terus ya, Di?”. Tapi dia hanya jawab, “Lagi pengen, Tam. Ngidam kaya ibu hamil hehe”. Padahal aku tahu ternyata uangnya tinggal cukup buat beli mie instant.
Pas aku sudah lama jomblo dan sedikit curhat ke dia, dia juga bilang,
“Lo boleh ambil cewek gue, Tam.”.
“Bego, lu kan kaga punya cewek”.
Aku heran, orang seperti dia kok ya masih jomblo aja sampai sekarang. Kalau boleh kubilang nih, dia itu harta karun. Luarnya sih keliatan tak terurus, berantakan. Tapi isinya emas permata.
Sial kok aku malah merasa jadi seperti gay gini. Kurang lebih, Adi itu orangnya seperti itu.
“Pesanannya mas, kopi robusta spesial dengan extra krimer dan adukan cinta nya silahkan dinikmati”.
“Najis”. Sambil aku minum sedikit kopi yang barusan ia bawa.
Hari ini Adi terlihat lebih gembira dari biasanya.
Dan ndak curcol.